Kamis, 29 Agustus 2013

Beginilah Seharusnya Pendidikan Karakter

Pak Mendikbud, Beginilah Seharusnya Pendidikan Karakter Itu

HL | 29 August 2013 | 07:34 Dibaca: 449   Komentar: 12   12



13777360851514814321
Semoga Pak Mendikbud masih mengingat foto ini.

Jika mengkaji substansi Kurikulum 2013 lebih dalam lagi, kita akan dapat menarik simpulan bahwa kurikulum itu bertujuan agar para murid nantinya memiliki karakter yang kuat. 

Dari lima indikator yang ditetapkan, tiga di antaranya bertujuan untuk membentuk karakter itu, satu berisi pengetahuan atau unsur kognitif, dan satu lagi berisi psikomotor alias praktik. Maka, rumus 3:1:1 jelas teramat njomplang alias jauh dari kesan ideal untuk lembaga pendidikan karena pendidikan seharusnya berbentuk penanaman pengetahuan yang diiringi dengan pembatasan kelakuan agar terjadi sinergisitas antara kepemilikan pengetahuan dengan kelakuan. Orang pintar (baca: anak sekolah, guru, dosen, pengajar) mestinya memiliki karakter yang jauh lebih baik daripada orang bodoh (baca: orang awam) dan atau sebaliknya.


Berdasarkan titik lemah itulah, teramat wajar jika Kurikulum 2013 ditolak mentah-mentah oleh banyak kalangan karena bertentangan dengan tujuan pendidikan. Selain Kurikulum 2013 terkesan merupakan “titipan” asing agar generasi Indonesia menjadi generasi bodoh yang mudah dibohongi dan tidak gampang protes, pengkajian Kurikulum 2013 pun teramat dangkal sehingga banyak kalangan guru (khususnya) teramat kesulitan untuk menerapkannya karena memang Kurikulum 2013 memerlukan ketelatenan yang luar biasa, ketersediaan fasilitas, dan waktu yang cukup. 

Belum lagi masa pelatihan penerapan Kurikulum 2013 yang teramat sempit dan ketidakmerataan distribusi buku. Maka, berdasarkan berita koran Suara Merdeka (Rabu, 28 Agustus 2013), Kadinas Provinsi Jakarta melarang sekolah-sekolah yang tidak menjadi pioneer project Kurikulum 2013 untuk ikut-ikutan menerapkan Kurikulum 2013 di sekolahnya. Kadinas berpendapat bahwa Kurikulum 2013 sarat dengan potensi konflik jika dipaksakan untuk diterapkan di sekolah nonperintis. Salut untuk sikap tegas yang ditunjukkan Kadinas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta!

Pak Mendikbud, saya akan bercerita tentang masa kecil ketika saya masih duduk di bangku SD Negeri Donoyudan Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Saya mulai duduk di bangku SD tahun 1979 dan lulus 1985. Ketika mengenyam pendidikan SD itu, saya diberikan banyak wejangan alias nasihat, baik berbentuk pembelajaran materi pengetahuan, lifeskill alias kecakapan hidup, dan nilai-nilai Pancasila.
 Alhamdulillah, saya selalu menjadi juara 1 atau 2 terus-menerus sejak kelas 1 hingga lulus SD. Bagiku, guru-guru SD-ku teramat sabar membimbingku. 

Karena saya adalah anak laki-laki, kadang (bahkan sering) saya berperilaku nakal. Maka, jeweran di telinga dan pukulan gitik (sejenis batang bambu kecil memanjang) di telapak tangan dan (maaf) bokong sudah terbiasa saya terima saban hari. Jika saya gagal mengerjakan tugas yang diberikan guru, saya harus berdiri di depan kelas dengan jinjit alias bertopang pada ujung jari kaki.

Sekolahku pun menerapkan lifeskill yang teramat sangat ketat lagi bermanfaat. Sejak kelas 1, saya harus memberi makan ayam petelur milik sekolah saban pagi, memberi makan ikan mujaer di empang sekolah, dan juga bercocok tanaman padi di lahan milik sekolah. Belum lagi saya harus menyapu halaman sekolah yang begitu luas. Dan jika semua pekerjaan itu tidak terselesaikan, Pak Guru dan Bu Guru sudah berdiri dan siap menyambutku dengan gitik atau siap-siap telingaku memerah karena jeweran.

Sekolahku juga selalu menanamkan nilai-nilai Pancasila di kehidupan sehari-hari. Setiap pagi sebelum masuk kelas, saya harus berbaris di depan kelas, lalu berdoa, mengucapkan Lima Sila Pancasila, bersalaman dan cium tangan guru, dan akhirnya duduk tenang untuk menimba ilmu. Sebelum pelajaran dimulai, guru-guru selalu mengajarkan pentingnya Pancasila sebagai dasar dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Maka, saya selalu dijadikan duta sekolah setiap kali ada Lomba Cerdas Cermat (LCC) Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4). Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati! Saya dididik agar mencintai bangsa dan negara ini dengan sepenuh hati meskipun sering diomeli karena kenakalan kali.

Namun, sungguh saya tidak terlintas sedikit pun untuk memiliki sikap dendam kepada mereka. Justru saya teramat berterima kasih kepada beliau-beliau. Bagiku, beliau-beliau adalah mahaguru yang luar biasa baiknya kepadaku. Beliau penuh kesabaran mendidikku, mengajarku, dan membimbingku agar saya menjadi murid yang baik, santun, berpengetahuan luas, dan mandiri. Maka, saya dan teman-teman alumnus SD Negeri Donoyudan Kalijambe Sragen sering berkunjung ke rumah guru-guru kami untuk sekadar bersilaturahmi sebagai ucapan terima kasih sekaligus menjunjung tinggi ajaran dan pendidikan yang pernah beliau berikan kepada kami. Andaikan beliau-beliau itu tidak galak kepada kami waktu, apa jadinya kami saat ini.

Alumni SD Negeri Donoyudan bertebaran di se-antero nusantara. Ada yang jadi pejabat tinggi, perwira TNI, dosen perguruan tinggi terkenal (UI, ITB, IPB, UNS, dll), atau pengusaha sukses. Saya masih mengingat setiap kejadian yang kualami dengan jelas sehingga sering saya tersenyum bangga karena memiliki jiwa mandiri. Bahkan, saya menyaksikan begitu banyak alumnus yang menjadi “orang” meskipun berasal dari kampung. Namun, tak satu pun alumnus itu melupakan jasa baik sang guru sehingga kami menanggalkan “baju” ketika bersimpuh di hadapan guru-guru kami. Begitulah kesan pertemuanku dengan alumni SD lebaran kemarin.

Pak Mendikbud, kajilah lagi lebih mendalam manfaat dan mudharat Kurikulum 2013. Mohon Bapak bersikap gentle jika memang Kurikulum 2013 sarat dengan “kepalsuan” pembentukan karakter. Jika memang Bapak berkeinginan untuk menguatkan karakter, Bapak cukup memasukkan materi tambahan di Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Menurutku, KTSP jauh lebih baik karena menjaga keseimbangan pengetahuan sekaligus memberikan ruang gerak kreativitas bagi murid dan guru. Sesungguhnya, pendidikan karakter itu dimulai dari Bapak selaku Mendikbud, lalu menular ke Kepala Dinas, Kepala Sekolah, guru, dan akhirnya para murid. Jika ingin membentuk karakter generasi bangsa ini agar memiliki karakter kuat, cerdas, tangguh, tanggap, dan tangguh, gunakanlah Pancasila sebagai kekuatan bangsa ini. Maka, sebaiknya Bapak memelajari nilai-nilai Pancasila itu untuk diterapkan dalam kurikulum. Saya yakin bahwa pendidikan karakter akan tercapai jika Bapak berkenan memulainya. Bukankah air itu mengalir ke bawah, Pak Mendikbud?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar