Rabu, 12 Juni 2013

PENGHAPUSAN SISTEM RANKING DI SEKOLAH KONTRADIKSI


KONTRADIKSI PENGHAPUSAN SISTEM RANKING DI SEKOLAH


Berawal dari materi di sebuah artikel yang mengulas tentang sisi positif tidak adanya sistem ranking di sekolah putrinya, saya jadi teringat suatu hal yang selalu mengusik saya sebagai staf akademik di sebuah SMA. Ada kontradiksi yang kurang diperhatikan dalam penghapusan sistem ranking tersebut.

Sekarang ini sekolah, mulai dari jenjang SD-SMA, baik sekolah negeri maupun swasta, tidak lagi mencantumkan ranking siswa di rapor. Kebijakan ini didasari dengan pamahaman bahwa pendidikan bukanlah suatu perlombaan. Anak tidak boleh difokuskan pada hasil tapi prosesnya. Dengan tidak adanya sistem ranking maka anak diarahkan untuk belajar secara kolaboratif bukan kompetitif.


Guru tidak boleh menginformasikan ranking anak pada orang tua saat pengambilan rapor. Walau sebenarnya pihak sekolah tetap mempunyai data peringkat anak. Saya pun dulu ketika masih mengajar sering menghadapi kesulitan menolak desakan-desakan orang tua yang ingin tahu ranking anaknya bahkan ranking teman-teman anaknya.




Kontradiksi terjadi saat anak akan mendaftar Perguruan Tinggi. Ranking menjadi sesuatu yang penting untuk mendaftar Perguruan Tinggi, khususnya anak-anak yang ingin mengambil Japres (Jalur Prestasi). Banyak universitas, khususnya swasta, yang menggunakan sistem ranking untuk menawarkan berbagai iming-iming pada target calon mahasiswa baru mereka. Contoh: bebas uang pangkal untuk siswa yang menduduki peringkat 3 besar dari kelas X-kelas XI, diskon uang pangkal 50% bagi siswa yang masuk peringkat 10 besar dari kelas X-kelas XI. Perguruan Tinggi Negeri pun meminta pencantuman ranking bagi anak yang ingin masuk melalui Jalur Undangan.

Akhirnya, seperti yang dulu sering saya alami, pihak sekolah yang kerepotan. Bolak-balik harus mengeluarkan surat keterangan ranking untuk melampiri legalisir rapor anak sebagai kelengkapan pendaftaran universitas. Bukan masalah repotnya saja, tapi seakan ini tidak menunjukkan konsistensi sistem pendidikan di negara kita. Berkali-kali saya menerima kritik dari orang tua murid, “Kalau memang ternyata ranking diperlukan saat masuk universitas, kok tidak sejak awal saja dicantumkan ranking di rapor? Kalau seperti ini kan malah dua kali kerja, Ms?”


Anak pun sering merasa kecolongan di kelas XII. Biasanya mereka menyesal setelah tahu bahwa dulunya pernah ada semester di mana mereka terlempar dari peringkat 3 besar atau 10 besar. Sering mereka berkomentar, “yah…, dulu guru-guru sering bilang, nggak usah merhatiin ranking, belajar saja dengan keras…. Eh, sekarang ternyata ranking penting banget. Tahu gitu sejak awal dicantumin ranking saja, biar kita bisa tahu ya. “


Menurut saya memang kurang tepat bila Perguruan Tinggi menggunakan sistem ranking dalam proses Penerimaan Mahasiswa Baru. Mengapa?


Ada sekolah yang memisahkan kelas sesuai kecerdasan anak. Misal, anak yang tergolong cerdas dikumpulkan di kelas A, anak yang memiliki kemampuan rata-rata dikumpulkan di kelas B, anak yang memiliki kemampuan kurang dikumpulkan di kelas C. Bila seperti ini, anak yang ranking 12 di kelas A bisa saja menempati urutan ranking 1 di kelas C.


Kualitas tiap sekolah berbeda-beda. Seorang anak yang menempati ranking 1 di sekolah dengan kualitas biasa bisa saja menjadi ranking 15 menurut standar sekolah favorit.


Saya lebih setuju bila standar masuk Perguruan Tinggi, termasuk untuk berbagai tawaran diskon dan Jalur Prestasi, tidak melihat ranking tapi nilai rata-rata anak tersebut. Mereka juga perlu melihat apakah nilai anak telah melampaui nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang ditetapkan sekolah. Contoh penulisan ketentuan tanpa memperhatikan sistem ranking:


Siswa yang memiliki nilai rata-rata rapot 80,0 dari kelas X-kelas XI dapat masuk tanpa melalui tes

Siswa yang seluruh nilainya di atas KKM mendapat potongan uang pangkal 75%.
Siswa yang semua nilai mapel rapor di atas 60,0 dari kelas X-XI mendapat potongan uang pangkal 50%.

Semoga Dinas Pendidikan lebih mencermati hal ini. Terlalu banyak regulasi baru dijalankan di dunia pendidikan yang akhirnya malah menimbulkan kontradiksi dan inkonsistensi. Seringkali, kami, para pelaksana di lapanganlah yang dituduh tidak profesional dan tidak konsisten. Yaachh.. guru lagi yg jadi tertuduh..??








Tidak ada komentar:

Posting Komentar